Asal-usul
Kesenian Angguk merupakan satu dari sekian banyak jenis
kesenian rakyat yang ada di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Kesenian
angguk berbentuk tarian disertai dengan pantun-pantun rakyat yang berisi
pelbagai aspek kehidupan manusia, seperti: pergaulan dalam hidup bermasyarakat,
budi pekerti, nasihat-nasihat dan pendidikan. Dalam kesenian ini juga dibacakan
atau dinyanyikan kalimat-kalimat yang ada dalam kitab Tlodo, yang walaupun
bertuliskan huruf Arab, namun dilagukan dengan cengkok tembang Jawa. Nyanyian
tersebut dinyanyikan secara bergantian antara penari dan pengiring tetabuhan.
Selain itu, terdapat satu hal yang sangat menarik dalam kesenian ini, yaitu
adanya pemain yang “ndadi” atau mengalami trance pada saat puncak
pementasannya. Sebagian masyarakat Yogyakarta percaya bahwa penari angguk yang
dapat “ndadi” ini memiliki “jimat” yang diperoleh dari juru-kunci pesarean
Begelen, Purworejo.
Tarian angguk diperkirakan muncul sejak zaman Belanda1, sebagai ungkapan rasa syukur kapada Tuhan setelah panen
padi. Untuk merayakannya, para muda-mudi bersukaria dengan bernyanyi, menari
sambil mengangguk-anggukkan kepala. Dari sinilah kemudian melahirkan satu
kesenian yang disebut sebagai “angguk”. Tari angguk biasa digelar di pendopo
atau di halaman rumah pada malam hari. Para penontonnya tidak dipungut biaya
karena pertunjukan kesenian angguk umumnya dibiayai oleh orang yang sedang
mempunyai hajat (perkawinan, perayaan 17 Agustus-an dan lain-lain).
Jenis-jenis Angguk dan Pemain
Tarian yang disajikan dalam kesenian angguk terdiri dari dua
jenis, yaitu: (1) tari ambyakan, adalah tari angguk yang dimainkan oleh banyak
penari. Tarian ambyakan terdiri dari tiga macam yaitu: tari bakti, tari srokal
dan tari penutup; dan (2) tari pasangan, adalah tari angguk yang dimainkan
secara berpasangan. Tari pasangan ini terdiri dari delapan macam, yaitu: tari
mandaroka, tari kamudaan, tari cikalo ado, tari layung-layung, tari
intik-intik, tari saya-cari, tari jalan-jalan, dan tari robisari.
Pada mulanya angguk hanya dimainkan oleh kaum laki-laki
saja. Namun, dalam perkembangan selanjutnya tarian ini juga dimainkan oleh kaum
perempuan. Para pemain angguk ini mengenakan busana yang terdiri dari dua
macam, yaitu busana yang dikenakan oleh kelompok penari dan busana yang
dikenakan oleh kelompok pengiring. Busana yang dikenakan oleh kelompok penari
mirip dengan busana prajurit Kompeni Belanda, yaitu: (1) baju berwarna hitam
berlengan panjang yang dibagian dada dan punggunya diberi hiasan lipatan-lipatan
kain kecil yang memanjang serta berkelok-kelok; (2) celana sepanjang lutut yang
dihiasi pelet vertikal berwarna merah-putih di sisi luarnya; (3) topi berwarna
hitam dengan pinggir topi diberi kain berwarna merah-putih dan kuning emas.
Bagian depan topi ini memakai “jambul” yang terbuat dari rambut ekor kuda atau
bulu-bulu; (3) selendang yang digunakan sebagai penyekat antara baju dan
celana; (4) kacamata hitam; (5) kaos kaki selutut berwarna merah atau kuning;
dan
(6) rompi berwarna-warni. Sedangkan busana yang dikenakan
oleh kelompok pengiring adalah: (1) baju biasa; (2) jas; (3) sarung; dan (4)
kopiah.
Peralatan musik yang digunakan untuk mengiringi tari Angguk
diantaranya adalah: (1) kendang; (2) bedug; (3) tambur; (4) kencreng; (5)
rebana 2 buah; (6) terbang besar dan (6) jedor.
Nilai Budaya
Seni apa pun pada dasarnya mengandung nilai estetika,
termasuk seni tari angguk.yang ada di kalangan masyarakat Yogyakarta. Namun
demikian, jika dicermati secara seksama kesenian ini hanya bernilai estetis dan
berfungsi sebagai hiburan semata. Akan tetapi, justuru yang menjadi rohnya
adalah nilai kesyukuran. Dalam konteks ini adalah bersyukur kepada Tuhan Yang
Maha Esa karena kemurahannya (memberi hasil panen yang melimpah).
Sumber :
Tidak ada komentar:
Posting Komentar